Saturday, December 27, 2014

Pondasi Dasar Pemikiran Mu'tazilah

Sebenarnya Mu’tazilah merupakan leluhurnya Islam Liberal yang ada dijaman kita sekarang. Atau golongan Islam Rasional. Mereka sama-sama mengedepankan akal sebagai dasar mereka. Mereka kembali membangkitkan pondasi dasar pemikiran mu’tazilah
1)    Almanzilah baina manzilatain.
Maksudnya yaitu orang fasik yang melakukan dosa besar, dia tidak dikatagori orang mukmin dan juga tidak dikatagori orang kafir, akan tetapi dia dinamakan orang fasik saja..[1] tetapi mereka tidak mengkafirkan orang fasik sebagaimana kaumnya khawarij.
Ini keadaan orang fasik mengerjakan dosa besar di dunia, adapun di akhirat, maka dia tidak masuk syurga karena tidak mengerjakan amalan penghuni syurga, akan tetapi dia kekal di dalam neraka selama-lamanya.[2]
2)    Al wa’du al wa’id
Yaitu Allah akan membalas orang baik dengan pahala dan orang berbuat kemaksiatan dengan neraka. sedangkan orang yang berbuat dosa besar dan belum bertaubat sebelum meninggal, maka orang tersebut pasti kekal di neraka dan tidak ada syafa’at baginya.[3]
3)    Alamru wa ma’ruf bil mungkar.
Kewajiban untuk mendakwahkan aqidah mereka seperti tauhid, adil dan yang lainnya, selain itu wajib memberontak dari pemimpin yang tidak sesuai dengan mazhab mereka atau sesuai tetapi ia dhalim atau fasiq.[4]
Maksunya seorang mukmin wajib menyebarkan agama Islam ini kepada non muslim sesuai kemampuan kita, orang alim dengan ilmunya, orang yang punya senjata dengan senjatanya, orang yang punya wewenang dengan jabatannya.
Penggunaan akal oleh mu’tazilah yang tidak terarah mengakibatkan kesesatan yang nyata, apalagi pada perkara ghaib atau metafisika. Karena ranah metafisika bukan ranahnya akal. Dan kerana sumber pengetahuan seorang mukmin bukan semata-mata akal, akan tetapi punya 3 (tiga) sumber: pertama Panca Indera, kedua akal, ketiga wahyu ( kitab dan sunnah). Wahyunya referensi utama dan satu-satunya sumber ilmu dalam mengetahui pengetahuan ranah metafisika. Ketika akal dan wahyu tidak searah, maka disitulah terjadi ketidak-seimbangan hakikat pengetahuan.
Mu’tazilah punya pengaruh besar dalam pengembangan pemikiran islam, khususnya dalam menolak Orientalis, Rasisme, Komunisme dan Maxisme yang memerangi islam dalam banyak celah dan tahapan. Pemikiran sunni yang taklidi tidak cukup dan dapat menghalangi serangan-serangan ini.
Muz’tazilah punya senjata yang ampuh dalam membekali ummat dan membentengi islam secara kesuluruhan dengan konsepnya di bidang penguasaan tatanan bahasa arab, ilmu kalam, filsafat yunani dan modern, ilmu mantiq dan metode debat yang solid sehingga mampu membungkam lawan.[5] Kalo generasi sekarang kita ambil konsep mu’tazilah, maka kita bisa memastikan perkembangan pemikiran islam dan peningkatan SDM yang sangat signifikan, akan tetapi dengan memisahkan kekurangan-kekurangan yang ada pada mereka.
Kelompok Mu’tazilah selanjutnya berkembang menjadi sebuah aliran teologi rasional, akan tetapi sesuai dengan situai dan perkembangan saat itu, pemikiran-pemikiran mu’tazilah merambah kelapangan siyasah, hal ini dapat dilihat dari tokoh mereka Abd al-Jabbar yang berbicara tentang khalifah, ia berpandangan bahwa pembentukan lembaga khalifah bukanlah kewajiban berdasarkan syar’i karena nash tidak tegas mempermasalahkan untuk membentu negara dan Suyuti menambahkan dalam karangannya, melainkan atas dasar pertimbangan rasio dan tuntutan mu’amalah manusia.[6] Pemikiran Mu’tazilah tidak kaku seperti pemikiran sunni yang mendahulukan kepemimpinan dibawah kaum Quraisy. Atau pemahaman Syiah yang memposisikan kepemimpinan sosok yang maksum dan luar biasa, akan tetapi kepemimpinan setara dengan rakyatnya, dalam artian bahwa pemimpin boleh di duduki oleh siapapun tanpa pandang bulu dan ras, yang terpenting punya kemampuan dan segala persyaratan kepemimpinan semata.
Bahkan sepanjang sejarah peradaban islam bahwa madrasah Mu’tazilahlah satu-satunya paling berjasa dalam membangun pemikiran islam secara keseluruhan dengan pemimpin-pemimpin mereka sepanjang sejarahnya.
            Dari satu sisi, metode mu’tazilah dapat kita kembangkan menjadi potensi generasi dalam menggerakkan pembaharuan pemikiran dan perkembangan pemikiran kaum muslim saat ini dan bangkit kembali dari keterpurukan pemikiran muslim. Dasar mu’tazilah dalam menggunakan akal dapat menghasilkan muslim yang cerdas dengan kapasitas berpikir yang kongkret dan sempurna. Akan tetapi dari sudut lain, dapat merusakkan manusia itu sendiri. Dikarenakan proses berpikir yang tidak sesuai arahan wahyu. Jadi solusinya sederhana, gunakan akal sebaik dan semaksimal mungkin sejalan dengan wahyu dalam mencapai manusia yang sempurna dan rahmatan lil ‘alamin.




[1] Falid Ar-Rabi’i, Tarikh Mu’tazilah; Fikruhum wa ‘Aqaiduhum, ( Dar As-tsaqafiyah li An-Nasyr, tt), h. 19.
[2]  Dar An Nadwah al Alamiyah lil Syabab Islamy, dibawah bimbingan DR. Mani’ Bin Hammad al Jahny, Mausu’ah Muyassarah fil Adyan wal Mazahi wal Ahzab al Mu’asarah, Cet. 5, (Riyadh: Dar an- Nadwah al Alamiyah, 2003), h. 67.
[3] Dar An Nadwah al Alamiyah lil Syabab Islamy, dibawah bimbingan DR. Mani’ Bin Hammad al Jahny, Mausu’ah Muyassarah fil Adyan wal Mazahi wal Ahzab al Mu’asarah,.... h. 68.
[5] Falid Ar-Rabi’i, Tarikh Mu’tazilah; Fikruhum wa ‘Aqaiduhum, .... h. 22.

No comments: