Sebenarnya
Mu’tazilah merupakan leluhurnya Islam Liberal yang ada dijaman kita sekarang.
Atau golongan Islam Rasional. Mereka sama-sama mengedepankan akal sebagai dasar
mereka. Mereka kembali membangkitkan pondasi dasar pemikiran mu’tazilah
1) Almanzilah baina manzilatain.
Maksudnya yaitu
orang fasik yang melakukan dosa besar, dia tidak dikatagori orang mukmin dan
juga tidak dikatagori orang kafir, akan tetapi dia dinamakan orang fasik saja..[1]
tetapi mereka tidak mengkafirkan orang fasik sebagaimana kaumnya khawarij.
Ini
keadaan orang fasik mengerjakan dosa besar di dunia, adapun di akhirat, maka
dia tidak masuk syurga karena tidak mengerjakan amalan penghuni syurga, akan
tetapi dia kekal di dalam neraka selama-lamanya.[2]
2) Al wa’du al wa’id
Yaitu Allah akan
membalas orang baik dengan pahala dan orang berbuat kemaksiatan dengan neraka.
sedangkan orang yang berbuat dosa besar dan belum bertaubat sebelum meninggal,
maka orang tersebut pasti kekal di neraka dan tidak ada syafa’at baginya.[3]
3) Alamru wa ma’ruf bil mungkar.
Kewajiban untuk
mendakwahkan aqidah mereka seperti tauhid, adil dan yang lainnya, selain itu
wajib memberontak dari pemimpin yang tidak sesuai dengan mazhab mereka atau
sesuai tetapi ia dhalim atau fasiq.[4]
Maksunya seorang
mukmin wajib menyebarkan agama Islam ini kepada non muslim sesuai kemampuan
kita, orang alim dengan ilmunya, orang yang punya senjata dengan senjatanya,
orang yang punya wewenang dengan jabatannya.
Penggunaan akal oleh
mu’tazilah yang tidak terarah mengakibatkan kesesatan yang nyata, apalagi pada
perkara ghaib atau metafisika. Karena ranah metafisika bukan ranahnya akal. Dan
kerana sumber pengetahuan seorang mukmin bukan semata-mata akal, akan tetapi
punya 3 (tiga) sumber: pertama Panca Indera, kedua akal, ketiga wahyu ( kitab
dan sunnah). Wahyunya referensi utama dan satu-satunya sumber ilmu dalam
mengetahui pengetahuan ranah metafisika. Ketika akal dan wahyu tidak searah,
maka disitulah terjadi ketidak-seimbangan hakikat pengetahuan.
Mu’tazilah punya
pengaruh besar dalam pengembangan pemikiran islam, khususnya dalam menolak
Orientalis, Rasisme, Komunisme dan Maxisme yang memerangi islam dalam banyak
celah dan tahapan. Pemikiran sunni yang taklidi tidak cukup dan dapat
menghalangi serangan-serangan ini.
Muz’tazilah punya
senjata yang ampuh dalam membekali ummat dan membentengi islam secara
kesuluruhan dengan konsepnya di bidang penguasaan tatanan bahasa arab, ilmu
kalam, filsafat yunani dan modern, ilmu mantiq dan metode debat yang solid
sehingga mampu membungkam lawan.[5]
Kalo generasi sekarang kita ambil konsep mu’tazilah, maka kita bisa memastikan
perkembangan pemikiran islam dan peningkatan SDM yang sangat signifikan, akan
tetapi dengan memisahkan kekurangan-kekurangan yang ada pada mereka.
Kelompok Mu’tazilah
selanjutnya berkembang menjadi sebuah aliran teologi rasional, akan tetapi
sesuai dengan situai dan perkembangan saat itu, pemikiran-pemikiran mu’tazilah
merambah kelapangan siyasah, hal ini dapat dilihat dari tokoh mereka Abd
al-Jabbar yang berbicara tentang khalifah, ia berpandangan bahwa pembentukan
lembaga khalifah bukanlah kewajiban berdasarkan syar’i karena nash tidak tegas
mempermasalahkan untuk membentu negara dan Suyuti menambahkan dalam
karangannya, melainkan atas dasar pertimbangan rasio dan tuntutan mu’amalah
manusia.[6]
Pemikiran Mu’tazilah tidak kaku seperti pemikiran sunni yang mendahulukan
kepemimpinan dibawah kaum Quraisy. Atau pemahaman Syiah yang memposisikan
kepemimpinan sosok yang maksum dan luar biasa, akan tetapi kepemimpinan setara
dengan rakyatnya, dalam artian bahwa pemimpin boleh di duduki oleh siapapun
tanpa pandang bulu dan ras, yang terpenting punya kemampuan dan segala
persyaratan kepemimpinan semata.
Bahkan sepanjang
sejarah peradaban islam bahwa madrasah Mu’tazilahlah satu-satunya paling
berjasa dalam membangun pemikiran islam secara keseluruhan dengan
pemimpin-pemimpin mereka sepanjang sejarahnya.
Dari satu sisi, metode mu’tazilah
dapat kita kembangkan menjadi potensi generasi dalam menggerakkan pembaharuan
pemikiran dan perkembangan pemikiran kaum muslim saat ini dan bangkit kembali
dari keterpurukan pemikiran muslim. Dasar mu’tazilah dalam menggunakan akal
dapat menghasilkan muslim yang cerdas dengan kapasitas berpikir yang kongkret
dan sempurna. Akan tetapi dari sudut lain, dapat merusakkan manusia itu
sendiri. Dikarenakan proses berpikir yang tidak sesuai arahan wahyu. Jadi
solusinya sederhana, gunakan akal sebaik dan semaksimal mungkin sejalan dengan
wahyu dalam mencapai manusia yang sempurna dan rahmatan lil ‘alamin.
[1] Falid Ar-Rabi’i,
Tarikh Mu’tazilah; Fikruhum wa ‘Aqaiduhum, ( Dar As-tsaqafiyah li
An-Nasyr, tt), h. 19.
[2] Dar An Nadwah al
Alamiyah lil Syabab Islamy, dibawah bimbingan DR. Mani’ Bin Hammad al Jahny, Mausu’ah
Muyassarah fil Adyan wal Mazahi wal Ahzab al Mu’asarah, Cet. 5, (Riyadh:
Dar an- Nadwah al Alamiyah, 2003), h. 67.
[3] Dar An Nadwah al Alamiyah lil Syabab Islamy,
dibawah bimbingan DR. Mani’ Bin Hammad al Jahny, Mausu’ah Muyassarah fil
Adyan wal Mazahi wal Ahzab al Mu’asarah,.... h. 68.
No comments:
Post a Comment