Imam Ghazali setelah
meninggalkan filsafat, dia mencoba mempelajari tasawuf, setelah berkelanan
dengan jauhnya baik waktu dan jarak, maka dia mendapati bahwa sesuatu yang dia
perlukan ada pada ahli sufi, sesuatu yang sangat berharga yang telah lama dia cari
ada pada kaum sufi yang menjauhkan diri dari manusia. Alghazali melihat tasawuf
harus melalui tareqat yang mewajibkan kita membuang segala penyakit hati dengan
menyendiri di sudut masjid atau di tempat sunyi dengan mengosongkan hati dan
beribadah hanya pada perkara fardhu dan Shalat sunat rawatib saja, dan tidak
mengerjakan ibadah yang lain dan menjauhi manusia.
Kemudian menyebut Allah
dengan lidah sebanyak mungkin, sehingga ketika kita berhenti membacanya, maka
terasa sebutan Allah masih saja terucap dengan lidah dan masih terasa diatas
lidah, begitu sering dan banyaknya kita berzikir dengan kata “ Allah”.[1]
Imam Ghazali
menerapkan pada dirinya hal tersebut sehingga hatinya suci dan bersih dari
penyakit hati dan dia mendapatkan ilmu yaqini dan terbuka segala hal bagi
dirinya.[2] Ini setelah kurang lebih 10 tahun[3]
berkelana, melakukan I’tikaf di masjid Damasyq, naik menara masjid setiap hari
dan mengunci dirinya disana. Kemudian setelah itu dia pergi ke masjid al Aqsa,
masuk ia ke ruang Sakhrah di masjid Al Aqsa dan mengunci diri disana. Pergi
haji, menziarahi kota Makkah, Madinah dan kuburan Rasulullah, setelah lama
berkelana, terbuka didalam khulwahnya tentang perkara yang belum pernah ia
ketahui, yang tidak mungkin dia dapatkan ditempat yang lain dan dikesempatan
yang lain. Maka terbukalah baginya bahwa jalan yang ditempuh oleh orang sufa
adalah sebaik-baik jalan menuju keridhaan Allah, dan kehidupan ahli sufi
sebaik-baik kehidupan yang mesti dijalani oleh manusia, jalan mereka merupakan
sebagus-bagus dan jalan yang paling benar, dan akhlak mereka sebaik-baik akhlak
manusia. Imam Ghazali mengatakan bahwa seandainya berkumpul pemikir-pemikir
untuk mengubah sedikit saja dari perilaku mereka, sesungguhnya mereka tidak
akan pernah mendapatkan cara untuk merubahnya. Karena diam dan gerak mereka
adalah berasal dari cahaya kenabian dan tidak ada cahay dimuka bumi ini yang
melampui cahaya kenabian.[4]
Menurut Imam alGhazali bahwa bersihnya hati dari segala penyakit
bathiniyah. merupakan inti ajaran tasawuf Dan merupakan persyaratan utama[5]
yang mesti dijalani bagi orang yang mengingkan tasawuf sehingga seseorang
menjadi dekat kepada Allah dan naik ke derajat paling tinggi, derajat
Muqarrabin dan Siddiqiin, melebihi derajatnya Malaikat.
Imam Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin
sebelum masuk kedalam pembahasan sifat terpuji, dikaji dan mengkupas
penyakit hati dengan judul “ almuhlikaat”, baru setelah selesai pembahasan
tersebut, imam alghazali masuk kedalam pembahasan sifat terpuji yaitu; “
almunjiyyat”. Seorang hamba bisa dekat dengan tuhannya, karena telah membuang
sifat rendah yang dimiliki manusia dan setelah itu otomatis hamba memiliki
sifat kepujian.
Didalam Ihaya
Ulumuddin jilid tiga, Imam Ghazali menjelaskan tentang sifat tidak terpuji
seperti penyakit lida dengan pembahasan yang sangat panjang, celaan dunia,
cinta harta, marah, hasud, benci, iri, jah, riya’, ujub, takabur,menipu dan
lainnya dengan uraian yang sangat panjang.
Kemudia dijilid
empat dari kitab Ihya Ulumuddin membahas tentang taubat, sabar, syukur, khauf,
raja’, fakr, zuhd, tauhid, tawakkal, mahabbah, syauq, ridha, ans, niat ikhlas,
jujur, muhasabah dan murabah. Ini merupakan sifat terpuji yang akan dimiliki
manusia setelah manusia membuang sifat tercela dalam dirinya sehingga hamba
naik ke maqam yang tinggi dan dekat dengan Tuhannya. Hamba tidak akan dekat
dengan Tuhannya selama sifat tercela dan rendah itu masih melekat pada dirinya.
Inilah yang harus dilakukan oleh seorang hamba yang ingin mendekatkan diri
dengan Khaliqnya.
Dengan demikian untuk menghasilkan generasi dan manusia yang taat kepada
agama, negara, dan bermasyarakat maka kebajikan hati manusia sangat dibutuhkan.
Pendekatan tasawuf, walapun tidak keseluruhan akan sangat membantu kemajuan
pendidikan yang berkarakter dan punya kridibelitas sehingga akan menghasilkan
ilmuan yang punya prinsip dan berperilaku bijak serta punya potensi dalam
membangun masyarakat bila ia menjadi pemimpin.
Menurut hemat saya bahwa mundurnya pendidikan dinegeri kita, karena
penekanan ajaran tasawuf yang kurang baik dalam lingkungan lembaga pendidikan
khususnya dan yang mulanya. Pendidikan moral dan tasawuf yang hanya sebatas
kognitif di lembaga pendidikan membuat generasi rapuh dan hambar dalam
kehidupannya. Kemampuan anak didik dalam dunia pendidikan jangan hanya sebatas
psikomotorik dan kognitif sahaja. Karena akan tidak tercapai tujuan sebenarnya
pendidikan yang harus punya afektif dalam kehidupan pribadi dan masyarakat,
juga dalam berpendidikan. Apalagi pendidikan tasawuf di perguruan tinggi, tidak
cukup pada beberapa SKS sahaja. Untuk membentuk generasi yang punya afektif
dalam perilaku, membutuhkan waktu dan pendidikan yang lama. Sehingga sadar
keilmuan, sadar keislaman, sadar masyarakat, sadar kepemimpinan dan
lain-lainnya.
Menurut Nasution
bahwa Aliran tasawuf yang diajarkan oleh Imam Alghazali didasari pada daya rasa
yang berpusat pada qalbu dengan meninggalkan daya nalar pada akal.[6]
Walaupun kelihatan pada awalnya nampak negatif, tapi pada dasarnya penggunaan
daya nalar dalam ajaran tasawuf melebihi dari mereka bayangkan. Mereka yang
memahami bahwa dengan penggunaan daya rasa hati, maka merosotlah penggunaan
akal, maka pemahaman ini belum bisa mengerti hakikat tareqat dan tasawuf yang
sebenar-benarnya.
No comments:
Post a Comment