Saturday, December 20, 2014

AJARAN TASAWUF ALGHAZALI


Imam Ghazali setelah meninggalkan filsafat, dia mencoba mempelajari tasawuf, setelah berkelanan dengan jauhnya baik waktu dan jarak, maka dia mendapati bahwa sesuatu yang dia perlukan ada pada ahli sufi, sesuatu yang sangat berharga yang telah lama dia cari ada pada kaum sufi yang menjauhkan diri dari manusia. Alghazali melihat tasawuf harus melalui tareqat yang mewajibkan kita membuang segala penyakit hati dengan menyendiri di sudut masjid atau di tempat sunyi dengan mengosongkan hati dan beribadah hanya pada perkara fardhu dan Shalat sunat rawatib saja, dan tidak mengerjakan ibadah yang lain dan menjauhi manusia.
Kemudian menyebut Allah dengan lidah sebanyak mungkin, sehingga ketika kita berhenti membacanya, maka terasa sebutan Allah masih saja terucap dengan lidah dan masih terasa diatas lidah, begitu sering dan banyaknya kita berzikir dengan kata “ Allah”.[1]
Imam Ghazali menerapkan pada dirinya hal tersebut sehingga hatinya suci dan bersih dari penyakit hati dan dia mendapatkan ilmu yaqini dan terbuka segala hal bagi dirinya.[2]  Ini setelah kurang lebih 10 tahun[3] berkelana, melakukan I’tikaf di masjid Damasyq, naik menara masjid setiap hari dan mengunci dirinya disana. Kemudian setelah itu dia pergi ke masjid al Aqsa, masuk ia ke ruang Sakhrah di masjid Al Aqsa dan mengunci diri disana. Pergi haji, menziarahi kota Makkah, Madinah dan kuburan Rasulullah, setelah lama berkelana, terbuka didalam khulwahnya tentang perkara yang belum pernah ia ketahui, yang tidak mungkin dia dapatkan ditempat yang lain dan dikesempatan yang lain. Maka terbukalah baginya bahwa jalan yang ditempuh oleh orang sufa adalah sebaik-baik jalan menuju keridhaan Allah, dan kehidupan ahli sufi sebaik-baik kehidupan yang mesti dijalani oleh manusia, jalan mereka merupakan sebagus-bagus dan jalan yang paling benar, dan akhlak mereka sebaik-baik akhlak manusia. Imam Ghazali mengatakan bahwa seandainya berkumpul pemikir-pemikir untuk mengubah sedikit saja dari perilaku mereka, sesungguhnya mereka tidak akan pernah mendapatkan cara untuk merubahnya. Karena diam dan gerak mereka adalah berasal dari cahaya kenabian dan tidak ada cahay dimuka bumi ini yang melampui cahaya kenabian.[4]
Menurut Imam alGhazali bahwa bersihnya hati dari segala penyakit bathiniyah. merupakan inti ajaran tasawuf Dan merupakan persyaratan utama[5] yang mesti dijalani bagi orang yang mengingkan tasawuf sehingga seseorang menjadi dekat kepada Allah dan naik ke derajat paling tinggi, derajat Muqarrabin dan Siddiqiin, melebihi derajatnya Malaikat.
Imam Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin  sebelum masuk kedalam pembahasan sifat terpuji, dikaji dan mengkupas penyakit hati dengan judul “ almuhlikaat”, baru setelah selesai pembahasan tersebut, imam alghazali masuk kedalam pembahasan sifat terpuji yaitu; “ almunjiyyat”. Seorang hamba bisa dekat dengan tuhannya, karena telah membuang sifat rendah yang dimiliki manusia dan setelah itu otomatis hamba memiliki sifat kepujian.
Didalam Ihaya Ulumuddin jilid tiga, Imam Ghazali menjelaskan tentang sifat tidak terpuji seperti penyakit lida dengan pembahasan yang sangat panjang, celaan dunia, cinta harta, marah, hasud, benci, iri, jah, riya’, ujub, takabur,menipu dan lainnya dengan uraian yang sangat panjang.
Kemudia dijilid empat dari kitab Ihya Ulumuddin membahas tentang taubat, sabar, syukur, khauf, raja’, fakr, zuhd, tauhid, tawakkal, mahabbah, syauq, ridha, ans, niat ikhlas, jujur, muhasabah dan murabah. Ini merupakan sifat terpuji yang akan dimiliki manusia setelah manusia membuang sifat tercela dalam dirinya sehingga hamba naik ke maqam yang tinggi dan dekat dengan Tuhannya. Hamba tidak akan dekat dengan Tuhannya selama sifat tercela dan rendah itu masih melekat pada dirinya. Inilah yang harus dilakukan oleh seorang hamba yang ingin mendekatkan diri dengan Khaliqnya.
Dengan demikian untuk menghasilkan generasi dan manusia yang taat kepada agama, negara, dan bermasyarakat maka kebajikan hati manusia sangat dibutuhkan. Pendekatan tasawuf, walapun tidak keseluruhan akan sangat membantu kemajuan pendidikan yang berkarakter dan punya kridibelitas sehingga akan menghasilkan ilmuan yang punya prinsip dan berperilaku bijak serta punya potensi dalam membangun masyarakat bila ia menjadi pemimpin.
Menurut hemat saya bahwa mundurnya pendidikan dinegeri kita, karena penekanan ajaran tasawuf yang kurang baik dalam lingkungan lembaga pendidikan khususnya dan yang mulanya. Pendidikan moral dan tasawuf yang hanya sebatas kognitif di lembaga pendidikan membuat generasi rapuh dan hambar dalam kehidupannya. Kemampuan anak didik dalam dunia pendidikan jangan hanya sebatas psikomotorik dan kognitif sahaja. Karena akan tidak tercapai tujuan sebenarnya pendidikan yang harus punya afektif dalam kehidupan pribadi dan masyarakat, juga dalam berpendidikan. Apalagi pendidikan tasawuf di perguruan tinggi, tidak cukup pada beberapa SKS sahaja. Untuk membentuk generasi yang punya afektif dalam perilaku, membutuhkan waktu dan pendidikan yang lama. Sehingga sadar keilmuan, sadar keislaman, sadar masyarakat, sadar kepemimpinan dan lain-lainnya.
Menurut Nasution bahwa Aliran tasawuf yang diajarkan oleh Imam Alghazali didasari pada daya rasa yang berpusat pada qalbu dengan meninggalkan daya nalar pada akal.[6] Walaupun kelihatan pada awalnya nampak negatif, tapi pada dasarnya penggunaan daya nalar dalam ajaran tasawuf melebihi dari mereka bayangkan. Mereka yang memahami bahwa dengan penggunaan daya rasa hati, maka merosotlah penggunaan akal, maka pemahaman ini belum bisa mengerti hakikat tareqat dan tasawuf yang sebenar-benarnya.



[2] Abu Hamid alGhazali, alMunqidh minal Dhalal, , Cet. II ( Oman: Dar alFath, tt ), h. 66.
[3] Abu Hamid alGhazali, alMunqidh minal Dhalal,… h. 68
[4] Abu Hamid alGhazali, alMunqidh minal Dhalal,… h. 68-69.
[5] Abu Hamid alGhazali, alMunqidh minal Dhalal,… h. 69.
[6] Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A, Filsafat Islam; filosof dan filsafatnya, ... h. 184.

No comments: